Selasa, 16 Februari 2010

5 Cara Guru Belajar

Perubahan paradigma pendidikan yang cukup dramatis pada saat sekarang ini, mau tidak mau menuntut para guru untuk dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan perubahan yang ada. Salah satu cara yang efektif agar dapat menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan perubahan yang ada yaitu melalui belajar secara terus menerus. Dengan demikian, tuntutan untuk belajar tidak hanya terjadi pada siswa yang dibelajarkannya, tetapi guru itu sendiri pun justru dituntut untuk senantiasa belajar tentang bagaimana mengajar yang baik. Banyak cara yang bisa dilakukan guru untuk belajar, diantaranya :
1. Guru belajar dari praktik pembelajaran yang dilakukannya
Cara belajar guru yang pertama ini dilakukan melalui usaha untuk senantiasa memonitor, menganalisis dan melakukan refleksi atas setiap praktik pembelajaran yang dilakukannya. Melalui cara seperti ini guru akan memperoleh sejumlah pengetahuan dan pemahaman baru (the best practice) tentang siswa, sekolah, kurikulum, dan berbagai strategi pembelajaran. Kegiatan Penelitian Tindakan Kelas (1, 2) merupakan salah satu bentuk cara belajar guru semacam ini (Cochran-Smith and Lytle, 1993).

2. Guru belajar melalui interaksi dengan guru lain
Cara belajar guru yang kedua dapat dilakukan melalui interaksi dengan guru lain, baik secara formal maupun informal. Secara formal, misalnya melalui kegiatan mentoring (tutorial) yang dilakukan oleh guru senior yang berpengalaman terhadap guru baru (novice), berdasarkan penugasan secara resmi dari sekolah. Dalam hal ini, guru baru dapat menimba berbagai pengetahuan dan keterampilan dari mentornya (Feiman-Nemser and Parker, 1993). Sedangkan secara informal dapat dilakukan melalui kegiatan pembicaraan yang tidak resmi, misalnya pada saat berada di ruang guru, halaman sekolah dan tempat-tempat lainnya yang sifatnya tidak resmi. Bentuk lain belajar melalui interaksi dengan guru lain adalah melalui kegiatan MGMP/MGBK dan pertemuan profesional lainnya, dimana guru dapat saling belajar dan berbagi pengetahuan. Kegiatan supervisi pembelajaran, baik oleh guru senior, kepala sekolah maupun pengawas sekolah, termasuk ke dalam kategori cara belajar ini. Demikian juga, program lesson study merupakan salah satu bentuk cara belajar guru melalui interaksi dengan guru lain.

3. Guru belajar melalui ahli/konsultan
Cara yang ketiga, guru dapat belajar melalui ahli/konsultan. Dalam kegiatan ini, sekolah menyediakan seorang atau beberapa orang ahli/konsultan khusus dari luar untuk membelajarkan para guru di sekolah. Secara berkala, ahli/konsultan tersebut dihadirkan di sekolah untuk membelajarkan guru, misalnya dalam bentuk workshop atau layanan konsultasi. Melalui cara ini, para guru akan memperoleh pemahaman tentang berbagai inovasi pendidikan sekaligus memperoleh bimbingan dalam penerapannya. Dalam konteks ini, pengawas sekolah (educational supervisor) seyogyanya dapat diposisikan sebagai tenaga konsultan yang dibutuhkan untuk kepentingan peningkatan kemampuan guru.

4. Guru belajar melalui pendidikan lanjutan dan pendalaman
Asumsi yang mendasari cara yang keempat ini, bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh seseorang, semakin lebih baik pula tingkat kemampuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kemampuan guru, seyogyanya guru didorong untuk dapat melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi atau mengikuti pendidikan pendalaman akademik. Pendidikan lanjutan artinya guru melanjutkan studi sesuai dengan bidangnya, misalkan seorang guru Bimbingan dan Konseling yang sudah memiliki tingkat pendidikan S1, kemudian dia melanjutkan lagi studinya ke S2 Program Magister Bimbingan dan Konseling, dan seterusnya. Sedangkan pendidikan pendalaman, bisa dilakukan melalui kursus-kursus dan pendidikan alternatif yang relevan. Misalnya, guru Ekonomi yang berlatarbelakang S1 Pendidikan Ekonomi, untuk pendalaman bidang akademiknya dia bisa mengikuti pendidikan S1 alternatif di Fakultas Ekonomi.
Di samping memperoleh kemampuan yang lebih baik, kegiatan pendidikan lanjutan berkolerasi pula dengan tingkat penghasilannya (Renyi, 1996). Di Amerika, kegiatan pendidikan pendalaman banyak dilakukan pada musim summer atau setelah selesai jam sekolah. Demikian pula, di negara-negara tertentu, guru-guru banyak mengikuti program in service trainning dengan dititipkan (pencangkokan) di Perguruan Tinggi untuk beberapa lama.

5. Guru belajar melalui cara yang terpisah dari tugas profesionalnya.
Cara yang kelima ini, guru belajar tentang hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan tugas-tugas profesionalnya, seperti pengembangan kemampuan intelektual dan moral terkait perannya sebagai orang tua, mengikuti pelatihan sebagai pengurus organisasi di masyarakat, pelatihan kepemimpinan dalam bisnis dan sebagainya. “They learn about nondidactic forms of instruction…”, demikian dikemukan oleh Lucido (1988). Meski tidak berhubungan langsung dengan tugas profesionalnya, beberapa hasil-hasil pelatihan tersebut dapat ditransfer untuk kepentingan penguatan kemampuannya sebagai guru.


Sumber : akhmadsudrajat.wordpress.com

Tujuh Prinsip Praktik Pembelajaran yang Baik

Dalam sebuah tulisannya, Arthur W. Chickering dan Zelda F. Gamson mengetengahkan tentang 7 (tujuh) prinsip praktik pembelajaran yang baik yang dapat dijadikan sebagai panduan dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran, baik bagi guru, siswa, kepala sekolah, pemerintah, maupun pihak lainnya yang terkait dengan pendidikan.

Di bawah ini disajikan esensi dari ketujuh prinsip tersebut dan untuk memudahkan Anda mengingatnya, saya buatkan “jembatan keledai” dengan sebutan CRAFT HiT

1. Encourages Contact Between Students and Faculty
Frekuensi kontak antara guru dengan siswa, baik di dalam maupun di luar kelas merupakan faktor yang amat penting untuk meningkatkan motivasi dan keterlibatan siswa dalam belajar. Dengan seringnya kontak antara guru-siswa ini, guru dapat lebih meningkatkan kepedulian terhadap siswanya. Guru dapat membantu siswa ketika melewati masa-masa sulitnya. Begitu juga, guru dapat berusaha memelihara semangat belajar, meningkatkan komitmen intelektual siswa, mendorong mereka untuk berpikir tentang nilai-nilai mereka sendiri serta membantu menyusun rencana masa depannya.

2. Develops Reciprocity and Cooperation Among Students
Upaya meningkatkan belajar siswa lebih baik dilakukan secara tim dibandingkan melalui perpacuan individual (solo race). Belajar yang baik tak ubahnya seperti bekerja yang baik, yakni kolaboratif dan sosial, bukan kompetitif dan terisolasi. Melalui bekerja dengan orang lain, siswa dapat meningkatkan keterlibatannya dalam belajar. Saling berbagi ide dan mereaksi atas tanggapan orang lain dapat semakin mempertajam pemikiran dan memperdalam pemahamannya tentang sesuatu.

3. Encourages Active Learning
Belajar bukanlah seperti sedang menonton olahraga atau pertunjukkan film. Siswa tidak hanya sekedar duduk di kelas untuk mendengarkan penjelasan guru, menghafal paket materi yang telah dikemas guru, atau menjawab pertanyaan guru. Tetapi mereka harus berbicara tentang apa yang mereka pelajari dan dapat menuliskannya, mengaitkan dengan pengalaman masa lalu, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka harus menjadikan apa yang mereka pelajari sebagai bagian dari dirinya sendiri.

4. Gives Prompt Feedback
Siswa membutuhkan umpan balik yang tepat dan memadai atas kinerjanya sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari apa yang telah dipelajarinya. Ketika hendak memulai belajar, siswa membutuhkan bantuan untuk menilai pengetahuan dan kompetensi yang ada. Di kelas, siswa perlu sering diberi kesempatan tampil dan menerima saran agar terjadi perbaikan. Dan pada bagian akhir, siswa perlu diberikan kesempatan untuk merefleksikan apa yang telah dipelajari, apa yang masih perlu diketahui, dan bagaimana menilai dirinya sendiri.

5. Emphasizes Time on Task
Waktu + energi = belajar. Memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya merupakan sesuatu yang sangat penting bagi siswa. Siswa membutuhkan bantuan dalam mengelola waktu efektif belajarnya. Mengalokasikan jumlah waktu yang realistis artinya sama dengan belajar yang efektif bagi siswa dan pengajaran yang efektif bagi guru. Sekolah seyogyanya dapat mendefinisikan ekspektasi waktu bagi para siswa, guru, kepala sekolah, dan staf lainnya untuk membangun kinerja yang tinggi bagi semuanya.

6. Communicates High Expectations
Berharap lebih dan Anda akan mendapatkan lebih. Harapan yang tinggi merupakan hal penting bagi semua orang. Mengharapkan para siswa berkinerja atau berprestasi baik pada gilirannya akan mendorong guru maupun sekolah bekerja keras dan berusaha ekstra untuk dapat memenuhinya.

7. Respects Diverse Talents and Ways of Learning
Ada banyak jalan untuk belajar. Para siswa datang dengan membawa bakat dan gaya belajarnya masing-masing Ada yang kuat dalam matematika, tetapi lemah dalam bahasa, ada yang mahir dalam praktik tetapi lemah dalam teori, dan sebagainya. Dalam hal ini, siswa perlu diberi kesempatan untuk menunjukkan bakatnya dan belajar dengan cara kerja mereka masing-masing. Kemudian mereka didorong untuk belajar dengan cara-cara baru, yang mungkin ini bukanlah hal mudah bagi guru untuk melakukannya.

Pada bagian lain, Arthur W. Chickering dan Zelda F. Gamson mengatakan bahwa guru dan siswa memegang peran dan tanggung jawab penting untuk meningkatkan mutu pembelajaran, tetapi mereka tetap membutuhkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak untuk membentuk sebuah lingkungan belajar yang kondusif bagi praktik pembelajaran yang baik. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan tersebut meliputi: (a) adanya rasa tujuan bersama yang kuat; (b) dukungan kongkrit dari kepala sekolah dan para administrator pendidikan untuk mencapai tujuan ; (c) dana yang memadai sesuai dengan tujuan; (d) kebijakan dan prosedur yang konsisten dengan tujuan; dan (e) evaluasi yang berkesinambungan tentang sejauhmana ketercapaian tujuan.

Sumber : akhmadsudrajat.wordpress.com
Adaptasi dan terjemahan bebas dari: Arthur W. Chickering dan Zelda F. Gamson. Seven Principles for Good Practice in Undergraduate Education

Rabu, 10 Februari 2010

SEKOLAH SEBAGAI PENYEBAR VIRUS POSITIF KARAKTER DAN BUDAYA BANGSA

Jakarta, Depdiknas- Sekolah mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi memiliki peran penting sebagai agen penyebar virus positif terhadap karakter dan budaya bangsa. Tidak ada yang menolak tentang pentingnya karakter dan budaya, tetapi jauh lebih penting bagaimana menyusun dan mensistemasikan, sehingga anak-anak dapat lebih berkarakter dan lebih berbudaya.
Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh pada Sarasehan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa di Hotel Bumikarsa Bidakara, Jakarta, Kamis (14/1/2010).

Pada acara yang dipandu Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Jalal menghadirkan pembicara utama Mantan Mendiknas Yahya Muhaimin, Budayawan Frans Magnis Suseno, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Abdullah Syukri Zarkasyi.

Mendiknas menyampaikan beberapa kebiasaan atau budaya yang perlu ditumbuhkembangkan diantaranya adalah budaya apresiasif konstruktif. Menurut Mendiknas, siapa pun yang dapat memberikan kontribusi positif di lingkungannya perlu diberikan apresiasi. “Kebiasaan memberikan apresiasi itu akan membangun lingkungan untuk tumbuh suburnya orang berprestasi . Kalau lingkungan sendiri tidak mendukung seseorang berprestasi maka nanti akan terus menerus negatif,” katanya.

Budaya berikutnya yang perlu dikembangkan, kata Mendiknas, adalah obyektif komprehensif. Mendiknas berpendapat, perlu mentradisikan melihat segala sesuatu secara utuh. Budaya berikutnya yang perlu dikembangkan adalah rasa penasaran intelektual atau intellectual curiosity dan kesediaan untuk belajar dari orang lain.

Kepada para peserta sarasehan, Mendiknas meminta, agar dikembangkan model-model pembelajaran yang menjadikan anak tidak hanya mampu menghapal, tetapi juga dapat mengetahui, mengingat, dan paham apa yang diingatnya. Selain itu, Mendiknas juga meminta agar membangun karakter dan budaya bangsa secara sistematik. “Budaya itu pun juga bisa direkayasa dalam makna positif. Tolong dibahas bagaimana rekayasa untuk mensistematiskan pengembangan budaya agar jelas tahapannya,” ujarnya.

Yahya menyampaikan, pengembangan karakter bangsa lebih ditekankan kepada kegiatan internalisasi atau penghayatan dan pembentukan tingkah laku. Setiap sekolah, kata dia, diwajibkan untuk mempunyai statuta yang di dalamnya dicantumkan secara eksplisit dan jelas tentang pengembangan karakter di sekolah tersebut. “Jadi bukan dalam kurikulum, tetapi dalam program,” katanya.

Setiap status sekolah, lanjut Yahya, akan mencantumkan nilai-nilai dasar atau yang merupakan ciri khas karakter bangsa Indonesia yaitu yang bersumber pada nilai-nilai agama maupun nilai-nilai kenegaraan, patriotisme, dan nasionalisme. “Nilai-nilai dasar tersebut misalkan jujur, dapat dipercaya, amanah, kebersamaan, peduli kepada orang lain, adil, dan demokratis,” katanya.

Frans mengatakan, orang yang mempunyai karakter adalah bahwa orang itu mempunyai keyakinan dan sikap dan dia bertindak menurut keyakinan dan sikapnya itu. Keyakinan itu, kata dia, termasuk suatu kejujuran dasar, kesetiaan terhadap dirinya sendiri dan perasaan spontan bahwa ia mempunyai harga diri dan bahwa harga diri itu turun apabila ia menjual diri. “Ia tahu apa itu tanggung jawab dan bersedia mempertanggungjawab kan perbuatannya. Ia bukan ‘orang bendera’ yang selalu mengikuti arah angin. Ia bisa saja fleksibel, tawar menawar, mau belajar dan berkembang dalam pandangannya, ” katanya.

Frans menegaskan, feodalisme para pendidik tidak memungkinkan karakter anak-anak didiknya berkembang semestinya. Menurut dia, jika pendidik membuat anak menjadi ‘manutan’ dengan nilai-nilai penting, tenggang rasa, dan tidak membantah maka karakter anak tidak akan berkembang. “Kalau kita mengharapkan karakter, anak itu harus diberi semangat dan didukung agar ia menjadi pemberani, berani mengambil inisiatif, berani mengusulkan alternatif, dan berani mengemukakan pendapat yang berbeda. Ia harus diajarkan untuk berpikir sendiri,” katanya.

Abdullah mengatakan, ketaladanan yang diberikan kepada santri oleh pengasuh tidak hanya sekedar manusiawi dan moralitas, tetapi juga penampilan dan cara berbicara. Keteladanan, kata dia, juga harus mempunyai produktivitas, sehingga bisa berbuat dan bekerja. “Sebab ada orang yang moralnya baik, tetapi tidak bisa apa-apa,” katanya.
Lebih lanjut Abdullah mengatakan, para santri yang tersebar di 16 cabang di seluruh Indonesia diberikan tugas yang bermacam-macam untuk dapat mandiri. Namun, kata dia, penugasan-penugasan itu tidak hanya masalah pelajaran, tetapi bermacam-macam kegiatan secara totalitas kehidupan. “Penugasan merupakan sebuah pendidikan. Jadi tidak hanya di dalam kelas,” katanya.


Sumber : Depdiknas

MEMBANGUN PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER MELALUI SASTRA

Rabu, 20 Januari 2010, saya diundang oleh Direktorat Pembinaan TK/SD di Ruang Rapat Gedung E Lantai 18 Kompleks Kementerian Pendidikan Nasional, Senayan, Jakarta, untuk mengikuti Rapat Persiapan menjelang digelarnya Festival Sastra Tingkat SD/MI Tingkat Nasional Tahun 2010. Rapat yang berlangsung pukul 14.30-16.30 WIB tersebut, selain dihadiri Direktur Pembinaan TK/SD dan pejabat terkait, juga hadir Dr. Zaim Uchrowi dan Intan Savitri (Balai Pustaka), Helvi Tiana Rosa, dan beberapa undangan yang lain. Sayangnya, sastrawan lain, seperti Taufik Ismail, Hudan Hidayat, atau Maman S. Mahayana (kabar terakhir sedang berada di Korea) yang juga diundang batal hadir.

Ide digelarnya Festival Sastra, menurut Direktur Pembinaan TK/SD, sudah digagas sejak 3 tahun yang lalu. Namun, agaknya baru tahun 2010 gagasan tersebut bisa diwujudkan. Ide ini berawal dari keresahan terhadap fenomena hilangnya pendidikan karakter dan budi pekerti dalam ranah pendidikan kita. Merebaknya sikap hidup pragmatik, melembaganya budaya kekerasan, atau meruyaknya bahasa ekonomi dan politik, disadari atau tidak, telah ikut melemahkan karakter anak-anak bangsa, sehingga nilai-nilai luhur baku dan kearifan sikap hidup menjadi mandul. Anak-anak sekarang gampang sekali melontarkan bahasa oral dan bahasa tubuh yang cenderung tereduksi oleh gaya ungkap yang kasar dan vulgar. Nilai-nilai etika dan estetika telah terbonsai dan terkerdilkan oleh gaya hidup instan dan pragmatik.

Ya, ya, ya, pendidikan berbasis karakter di negeri ini memang telah lama hilang. Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn), misalnya, yang seharusnya bisa menjadi “katalisator” untuk membendung arus merebaknya budaya kekerasan dan proses demoralisasi, dinilai telah berubah menjadi mata pelajaran berbasis indoktrinasi dan dogmatis yang semata-mata mengajarkan nilai baik dan buruk, tanpa diimbangi dengan pola pembiasaan intens yang bisa memicu siswa didik untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai keluhuran budi. Akibat pola indoktrinasi yang demikian lama dalam ranah pendidikan kita, disadari atau tidak, telah mengubah mind-set anak-anak cenderung menjadi “kanibal”, baik terhadap dirinya sendiri maupun sesamanya. Mereka tidak lagi memiliki kepekaan terhadap sesamanya, kehilangan nilai kasih sayang, dan sibuk dengan dunianya sendiri yang cenderung agresif dengan tingkat degradasi moral yang sudah berada pada titik nazir peradaban.

Sudah berkali-kali panggung sosial negeri ini diwarnai pentas tragis tentang tawuran antarpelajar, pemerkosaan, minuman keras, atau seks pra-nikah yang dilakukan oleh kaum remaja-pelajar kita. Belum lagi mereka yang menjadi pengguna dan pengedar pil-pil setan dan zat-zat adiktif lainnya. Hal itu diperparah dengan miskinnya keteladanan perilaku kaum elite kita yang seharusnya menjadi patron dan sosok anutan sosial yang mengagumkan. Perilaku korupsi, sikap serakah, dan mau menang sendiri, justru menjadi tontonan masif di tengah massa yang demikian gampang disaksikan melalui layar kaca. Dalam konteks ini, mungkin ada benarnya kalau Nicolo Machiavelli menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah penipu, rakus, tidak pernah terpuaskan dan serakah. Hal senada juga dikemukakan oleh Thomas Hobes bahwa manusia mempunyai sifat dasar yang mementingkan egonya sendiri dan merupakan musuh bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

Sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya, situasi semacam itu jelas amat tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial. Dalam konteks demikian, perlu ada upaya serius dari segenap komponen bangsa untuk membangun “kesadaran kolektif” demi mengembalikan karakter bangsa yang hilang.

Dalam konteks demikian, menjadi menarik ketika Direktorat Pembinaan TK/SD menggagas sebuah agenda Festival, Olimpiade, atau apa pun namanya, berlabel sastra yang berupaya mengajak dan menginternalisasikan pendidikan karakter melalui karya sastra. Mengapa harus melalui sastra?

Ya, ya, ya, ketika dunia pendidikan dinilai hanya memburu dan mementingkan ranah akademik semata, sehingga abai terhadap persoalan-persoalan moral dan keluhuran budi –kalau toh ada penyampaiannya cenderung indoktrinatif dan dogmatis– perlu ada terobosan visioner yang bisa mengajak dan menginternalisasikan pendidikan karakter sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan psikososial siswa didik. Karya sastra, agaknya bisa menjadi medium yang strategis untuk mewujudkan tujuan mulia itu. Melalui karya sastra, anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intens sehingga secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui karya sastra.

Melalui karya sastra, anak-anak akan mendapatkan pengalaman baru dan unik yang belum tentu bisa mereka dapatkan dalam kehidupan nyata. Anak-anak bisa belajar dan bergaul secara langsung tentang berbagai karakter mulia, yang oleh Sang Pencetus Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, Ratna Megawangi, dikenal sebagai 9 (sembilan) pilar, yakni (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Ini artinya, pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi paham (ranah kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (ranah afektif) nilai yang baik, dan mau melakukannya (ranah psikomotor).

Tentu saja, langkah visioner semacam itu tak akan banyak maknanya jika tidak diimbangi dengan intensifnya internalisasi pendidikan berbasis karakter dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Hasil rapat koordinasi pun belum menghasilkan keputusan final karena masih akan terus berproes hingga benar-benar matang dan siap diimplementasikan.

Meski demikian, agenda Festival Sastra yang digagas Direktorat Pembinaan TK/SD diharapkan bisa menjadi awal yang bagus untuk melakukan sebuah perubahan. Jika pembangunan karakter bangsa melalui sastra dilakukan secara serius, total, dan intens, bukan tidak mungkin kelak anak-anak negeri ini akan memiliki kepribadian yang jauh lebih berkarakter sehingga siap mengawal perjalanan dan dinamika peradaban bangsa melalui sentuhan karakter yang kuat dan nilai-nilai keluhuran budi yang mengagumkan. Semoga!

Sumber : http://sawali.info/2010/01/21/membangun-pendidikan-berbasis/

KONSEP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN

Dalam sepanjang hidupnya manusia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan atau alternatif dan pengambilan keputusan. Hal ini sejalan dengan teori real life choice, yang menyatakan dalam kehidupan sehari-hari manusia melakukan atau membuat pilihan-pilihan di antara sejumlah alternatif. Pilihan-pilihan tersebut biasanya berkaitan dengan alternatif dalam penyelesaian masalah yakni upaya untuk menutup terjadinya kesenjangan antara keadaan saat ini dan keadaan yang diinginkan.

Matlin (1998) menyatakan bahwa situasi pengambilan keputusan yang dihadapi seseorang akan mempengaruhi keberhasilan suatu pengambilan keputusan. Setelah seseorang berada dalam situasi pengambilan keputusan maka selanjutnya dia akan melakukan tindakan untuk mempertimbangkan, menganalisa, melakukan prediksi, dan menjatuhkan pilihan terhadap alternatif yang ada.

Dalam tahap ini reaksi individu yang satu dengan yang lain berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing individu. Ada individu yang dapat segera menentukan sikap terhadap pertimbangan yang telah dilakukan, namun ada juga individu lain yang tampaknya mengalami kesulitan untuk menentukan sikapnya.

Dalam praktiknya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Arroba (1998) menyebutkan 5 faktor faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan, yaitu: (1) informasi yang diketahui perihal permasalahan yang dihadapi; (2) tingkat pendidikan; (3) personality; (4) coping, dalam hal ini dapat berupa pengalaman hidup yang terkait dengan permasalahan (proses adaptasi); dan (5) culture. Hal senada dikemukakan Siagian (1991) bahwa terdapat aspek-aspek tertentu bersifat internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan.

Adapun aspek internal tersebut antara lain :
  • Pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Biasanya semakin luas pengetahuan seseorang semakin mempermudah pengambilan keputusan.
  • Aspek kepribadian. Aspek kepribadian ini tidak nampak oleh mata tetapi besar peranannya bagi pengambilan keputusan.

Sementara aspek eksternal dalam pengambilan keputusan, antara lain :
  • Kultur. Kultur yang dianut oleh individu bagaikan kerangka bagi perbuatan individu. Hal ini berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan.
  • Orang lain. Orang lain dalam hal ini menunjuk pada bagaimana individu melihat contoh atau cara orang lain (terutama orang dekat ) dalam melakukan pengambilan keputusan. Sedikit banyak perilaku orang lain dalam mengambil keputusan pada gilirannya juga berpengaruh pada perilkau individu dalam mengambil keputusan.

Dengan demikian, seseorang yang telah mengambil keputusan, pada dasarnya dia telah melakukan pemilihan terhadap alternatif-alternatif yang ditawarkan kepadanya. Kendati demikian, hal yang tidak dapat dipungkiri adalah kemungkinan atau pilihan yang tersedia bagi tindakan itu akan dibatasi oleh kondisi dan kemampuan individu yang bersangkuran, lingkungan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan fisik dan aspek psikologis

Seorang pemimpin pendidikan harus mampu menjadi pemecah masalah bagi dirinya dan orang lain. Ini merupakan konsekuensi logis sebagai seorang pemimpin, karena mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus berani mengambil keputusan. Karena posisinya sebagai problem solver, ia harus benar-benar memiliki daya analisis yang tinggi, sehingga keputusan yang diambilnya sudah dipertimbangkan secara matang, yang dapat dilakukan melalui studi kasus, pengamatan, maupun wawancara terfokus.

Pemimpin pendidikan sebagai problem solver dituntut untuk memiliki kreativitas dalam memecahkan masalah dan mengembangkan alternatif penyelesaiannya. Berpikir kreatif untiuk memecahkan masalah dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
  • Tahap orientasi masalah, yaitu merumuskan masalah dan mengindentifikasi aspek aspek masalah tersebut. dalam prospeknya, si pemikir mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan masalahyang dipikirkan.
  • Tahap preparasi. Pikiran harus mendapat sebanyak mungkin informasi yang relevan dengan masalah tersebut. Kemudian informasi itu diproses untuk menjawab pertanyaan yang diajukan pada tahap orientasi.
  • Tahap inkubasi. Ketika pemecahan masalah mengalami kebuntuan maka biarkan pikiran beristirahat sebentar. Sementara itu pikiran bawah sadar kita akan bekerja secara otomatis untuk mencari pemecahan masalah.
  • Tahap iluminasi. Proses inkubasi berakhir, karena si pemikir mulai mendapatkan ilham serta serangkaian pengertian (insight) yang dianggap dapat memecahkan masalah.
  • Tahap verifikasi, yaitu melakukan pengujian atas pemecahan masalah tersebut, apabila gagal maka tahapan sebelummnya harus di ulangi lagi.

Dalam hal mengambil keputusan, antar individu yang satu dengan individu yang lain melakukan pendekatan dengan cara yang tidak sama. Setiap orang mempunyai cara unik dalam mengambil keputusan. Jadi ada gaya yang berbeda-beda antar individu yang satu dengan yang lain dalam melakukan pengambilan keputusan. Harren (1980) menyebutkan gaya pengambilan keputusan adalah cara-cara unik yang dilakukan seseorang di dalam membuat keputusan-keputusan penting dalam hidupnya.

Gaya pengambilan keputusan bersifat melekat pada kondisi seseorang. Gaya pengambilan keputusan dipelajari dan dibiasakan oleh individu dalam kehidupannya, sehingga menjadi bagian dan miliknya serta menjadi pola respon saat individu menghadapi situasi pengambilan keputusan. Gaya pengambilan keputusan juga menjadi ciri atau bagian unik dari individu (Phillips, dkk. 1984).

Harren, dkk. membedakan pengambilan keputusan ke dalam 2 (dua) gaya pengambilan yang berseberangan yaitu gaya rasional dan intuitif. Penggolongan dua gaya ini di dasarkan atas :
  • Tingkat individu menggunakan strategi pengambilan keputusan yang bersifat emosional.
  • Cara individu mengolah dan menanggapi informasi serta melakukan evaluasi dalam situasi pengambilan keputusan.

Diambil dan adaptasi dari Materi Pembinaan Profesi Pengawas Sekolah. Direktorat Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. 2007)

PROFESIONALISME GURU PASCA SERTIFIKASI

Pofesi guru agaknya tak pernah surut dari perbincangan dan wacana publik. Ada banyak sisi yang bisa digunakan untuk membidik profesi ini, mulai rendahnya kinerja, kepribadian yang kurang terpuji, hingga persoalan asap dapur. Ketika rezim Orde Baru masih berkuasa, guru ditempatkan dalam sebuah “rumah kaca” yang gampang diamati gerak-geriknya. Jika guru melakukan tindakan yang tak segaris dengan kebijakan penguasa, mereka tak segan-segan “disemprit”; entah dengan penundaan jenjang karier, pemecatan, hingga ancaman dan tekanan. Yang lebih menyedihkan, guru tak henti-hentinya digiring dan dimobilisasi untuk mendukung partai penguasa. Melalui kaki tangan rezim yang menggurita hingga ke lapisan birokrasi paling bawah, guru dikurung dalam tungku kekuasaan yang panas dan gerah. Guru harus menjadi sosok yang serba tunduk dan penurut pada kehendak rezim yang sedang berkuasa.

Angin reformasi yang telah berhembus lebih dari satu dasawarsa memang telah banyak memberikan “berkah” bagi guru. Setidak-tidaknya, guru tidak lagi kena sindrom mobilisasi yang diarahkan untuk berafiliasi pada aliran politik penguasa. Guru, sebagaimana warga negara yang lain, bebas menentukan hak politiknya. Dari sisi kesejahteraan, guru juga sudah banyak menikmati tunjangan profesi, terutama mereka yang sudah mendapatkan sertifikat pendidik. Tambahan satu kali gaji pokok, setidak-tidaknya bisa dimanfaatkan untuk meringankan beban ekonomi guru yang selalu dituntut untuk “meng-upgrade” diri agar tak tersalip ilmunya oleh siswa didik. Melalui tunjangan profesi itu, guru diharapkan tidak lagi direpotkan memikirkan asap dapur, biaya kesehatan, dan berbagai persoalan kebutuhan lainnya, sehingga bisa total dan intens menjalankan tugas-tugas profesinya. Dengan kata lain, di negeri ini tak akan lagi terdengar guru yang nyambi jadi tukang ojek atau penjual rokok ketengan yang dinilai bisa mengganggu dan menghambat kinerjanya.

Namun, ketika program sertifikasi guru digulirkan, pro-kontra tentang terobosan ini terus bermunculan. Banyak kalangan menduga, proses sertifikasi guru yang dilakukan dengan mengumpulkan dokumen portofolio sebanyak 850 point akan rawan dengan manipulasi. Ternyata dugaan itu tidak meleset. Berdasarkan pemantauan tim asesor, tidak sedikit ditemukan berkas dokumen portofolio yang aspal (asli tetapi palsu). Oleh karena itu, penilaian dokumen portofio pun diubah. Sejak tahun 2008, berkas dokumen portofolio harus asli (tidak boleh foto kopi).

Persoalannya sekarang, apakah sertifikasi guru akan memberikan dampak positif terhadap kemajuan dunia pendidikan? Bagaimana memantau kinerja guru yang sudah tersertifikasi agar mampu memberikan nilai tambah buat kemajuan dunia pendidikan? Kalau memang nyata-nyata ditemukan sejumlah fakta bahwa sertifikasi guru tidak memberikan imbas positif terhadap kemajuan dunia pendidikan, perlukah sertifikasi dikaji ulang? Kalau memang perlu dikaji ulang, adakah upaya lain yang bisa dilakukan agar peningkatan kesejahteraan guru memberikan imbas positif terhadap kemajuan dunia pendidikan? Beberapa pertanyaan krusial yang perlu segera dijawab oleh para pengambil kebijakan.

Sumber : http://mgmpbismp.co.cc/2010/01/25/profesionalisme-guru-pasca-sertifikasi/

Rabu, 20 Januari 2010

KONSEP DASAR MANAJEMEN KEUANGAN SEKOLAH

A. Pengertian manajemen Keuangan
Manajemen keuangan merupakan salah satu substansi manajamen sekolah yang akan turut menentukan berjalannya kegiatan pendidikan di sekolah. Sebagaimana yang terjadi di substansi manajemen pendidikan pada umumnya, kegiatan manajemen keuangan dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian.

Beberapa kegiatan manajemen keuangan yaitu memperoleh dan menetapkan sumber-sumber pendanaan, pemanfaatan dana, pelaporan, pemeriksaan dan pertanggungjawaban (Lipham, 1985; Keith, 1991)

Menurut Depdiknas (2000) bahwa manajemen keuangan merupakan tindakan pengurusan/ketatausahaan keuangan yang meliputi pencatatan, perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pelaporan Dengan demikian, manajemen keuangan sekolah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas mengatur keuangan sekolah mulai dari perencanaan, pembukuan, pembelanjaan, pengawasan dan pertanggung-jawaban keuangan sekolah.

B. Tujuan Manajemen Keuangan Sekolah
Melalui kegiatan manajemen keuangan maka kebutuhan pendanaan kegiatan sekolah dapat direncanakan, diupayakan pengadaannya, dibukukan secara transparan, dan digunakan untuk membiayai pelaksanaan program sekolah secara efektif dan efisien. Untuk itu tujuan manajemen keuangan adalah :
1. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan sekolah
2. Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi keuangan sekolah.
3. Meminimalkan penyalahgunaan anggaran sekolah.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibutuhkan kreativitas kepala sekolah dalam menggali sumber-sumber dana, menempatkan bendaharawan yang menguasai dalam pembukuan dan pertanggung-jawaban keuangan serta memanfaatkannya secara benar sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

C. Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan sekolah perlu memperhatikan sejumlah prinsip. Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Disamping itu prinsip efektivitas juga perlu mendapat penekanan. Berikut ini dibahas masing-masing prinsip tersebut, yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.

1. Transparansi
Transparan berarti adanya keterbukaan. Transparan di bidang manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan yang transparan berarti adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggungjawabannya harus jelas sehingga bisa memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahuinya. Transparansi keuangan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan dukungan orangtua, masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah. Disamping itu transparansi dapat menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah, masyarakat, orang tua siswa dan warga sekolah melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

Beberapa informasi keuangan yang bebas diketahui oleh semua warga sekolah dan orang tua siswa misalnya rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) bisa ditempel di papan pengumuman di ruang guru atau di depan ruang tata usaha sehingga bagi siapa saja yang membutuhkan informasi itu dapat dengan mudah mendapatkannya. Orang tua siswa bisa mengetahui berapa jumlah uang yang diterima sekolah dari orang tua siswa dan digunakan untuk apa saja uang itu. Perolehan informasi ini menambah kepercayaan orang tua siswa terhadap sekolah.

2. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas performansinya dalam menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Akuntabilitas di dalam manajemen keuangan berarti penggunaan uang sekolah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan dan peraturan yang berlaku maka pihak sekolah membelanjakan uang secara bertanggung jawab. Pertanggungjawaban dapat dilakukan kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ada tiga pilar utama yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya transparansi para penyelenggara sekolah dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola sekolah , (2) adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, (3) adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang murah dan pelayanan yang cepat.

3. Efektivitas
Efektif seringkali diartikan sebagai pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Garner(2004) mendefinisikan efektivitas lebih dalam lagi, karena sebenarnya efektivitas tidak berhenti sampai tujuan tercapai tetapi sampai pada kualitatif hasil yang dikaitkan dengan pencapaian visi lembaga. Effectiveness ”characterized by qualitative outcomes”. Efektivitas lebih menekankan pada kualitatif outcomes. Manajemen keuangan dikatakan memenuhi prinsip efektivitas kalau kegiatan yang dilakukan dapat mengatur keuangan untuk membiayai aktivitas dalam rangka mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan kualitatif outcomes-nya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

4. Efisiensi
Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil suatu kegiatan. Efficiency ”characterized by quantitative outputs” (Garner,2004). Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara masukan (input) dan keluaran (out put) atau antara daya dan hasil. Daya yang dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya. Perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua hal :
a. Dilihat dari segi penggunaan waktu, tenaga dan biaya :
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau penggunaan waktu, tenaga dan biaya yang sekecil-kecilnya dapat mencapai hasil yang ditetapkan.

Ragam efisiensi dapat dijelaskan melalui hubungan antara penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan dapat dilihat pada gambar berikut ini :



Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan

Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan daya C dan hasil D yang paling efisien, sedangkan penggunaan daya A dan hasil D menunjukkan paling tidak efisien.

b. Dilihat dari segi hasil
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau dengan penggunaan waktu, tenaga dan biaya tertentu memberikan hasil sebanyak-banyaknya baik kuantitas maupun kualitasnya.

Ragam efisiensi tersebut dapat dilihat dari gambar berikut ini :



Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya tertentu dan ragam hasil yang diperoleh

Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil B paling tidak efisien. Sedangkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil D paling efisien.

Tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi memungkinkan terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat secara memuaskan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.

Daftar Rujukan

Campbell, Roald F., Edwin M.Bridges, dan Raphael O.Nystrand. 1983. Introduction to Educational Administration. 5th edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Manajemen Keuangan. Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Sekolah. Jakarta: Dirjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama

Direktorat Pendidikan Dasar. 1995/1996. Pengelolaan Sekolah di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar. Ditdikdasmen Depdikbud

Gorton, Richard A. & Schneider, Gail T. 1991. School-Based Leadership: Callenges and Opportunities. Dubuque, IA: Wm. C. Brown Publishers

Kadarman, A.M. dan Udaya, Jusuf. 1992. Pengantar Ilmu Manajemen: Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 056/U/2001 tentang Pedoman Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah. Jakarta: CV Tamita Utama

Koontz, Harold dan O’Donnel, Cryill. 1984. Principles of Management: An Analysis of Managerial Functions. Third Edition. New York: McGraw-Hill Book Company.

Manullang, M. 1990. Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Pemerintah Kota Malang. 2002. Kutipan Buku Pedoman Kerja dan Penekanan Tugas. Malang: Dinas Pendidikan Kota Malang

Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Supriadi, Dedi. 2004. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Sutarsih, Cicih. Tanpa tahun. Administrasi Keuangan Sekolah. Jakarta:

Swastha, Basu. 1985. Azas-azas Manajemen Modern. Yogyakarta: Liberty.

Timan, Agus, Maisyaroh, Djum Djum Noor Benty. 2000. Pengantar Manajemen Pendidikan. Malang: AP FIP Universitas Negeri Malang.

Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: CV Tamita Utama

Undang-undang No 22 tahun 1999, yang direvisi dengan Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Widjanarko, M. dan Sahertian, P.A. 1996/1997. Manajemen Keuangan Sekolah. Bahan Pelatihan Manajemen Pendidikan bagi Kepala SMU se- Indonesia di Malang

Diambil dan adaptasi dari Materi Pembinaan Profesi Kepala Sekolah/Madrasah. Direktorat Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. 2007)

Jumat, 15 Januari 2010

Model Pembelajaran Inovatif

1. EXAMPLES NON EXAMPLES
Langkah-langkah :
a. Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran
b. Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan melalui OHP
c. Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan pada siswa untuk memperhatikan/ menganalisa gambar
d. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas
e. Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya
f. Mulai dari komentar/hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai
g. Kesimpulan

2. PICTURE AND PICTURE
Langkah-langkah :
a. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
b. Menyajikan materi sebagai pengantar
c. Guru menunjukkan/memperlihatkan gambar-gambar kegiatan berkaitan dengan materi
d. Guru menunjuk/memanggil siswa secara bergantian memasang/mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis
e. Guru menanyakan alasan/dasar pemikiran urutan gambar tersebut
f. Dari alasan/urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep/materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai
g. Kesimpulan/rangkuman

3. NUMBERED HEAD TOGETHERS
Langkah-langkah :
a. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor
b. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya
c. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya/mengetahui jawabannya
d. Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka
e. Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain
f. Kesimpulan

4. COOPERATIVE SCRIPT
Skrip kooperatif : Metode belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan bergantian secara lisan mengikhtisarkan, bagian-bagian dari materi yang dipelajari
Langkah-langkah :
a. Guru membagi siswa untuk berpasangan
b. Guru membagikan wacana/materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan
c. Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar
d. Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya.
e. Sementara pendengar :
f. Menyimak/mengoreksi/menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap
g. Membantu mengingat/menghafal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya
h. Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya. Serta lakukan seperti diatas.
i. Kesimpulan Siswa bersama-sama dengan Guru
j. Penutup
5. KEPALA BERNOMOR STRUKTUR
Langkah-langkah :
a. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor
b. Penugasan diberikan kepada setiap siswa berdasarkan nomor dan diberikan tugas yang berangkai

Misalnya : siswa nomor satu bertugas mencatat soal. Siswa nomor dua mengerjakan soal dan siswa nomor tiga melaporkan hasil pekerjaan dan seterusnya

a) Jika perlu, guru bisa menyuruh kerja sama antar kelompok. Siswa disuruh keluar dari kelompoknya dan bergabung bersama beberapa siswa bernomor sama dari kelompok lain. Dalam kesempatan ini siswa dengan tugas yang sama bisa saling membantu atau mencocokkan hasil kerja sama mereka
b) Laporkan hasil dan tanggapan dari kelompok yang lain
c) Kesimpulan

6. STUDENT TEAMS ACHIEVMENT DIVISION (STAD)
Langkah-langkah :
a. Membentuk kelompok yang anggotanya = 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll)
b. Guru menyajikan pelajaran
c. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok. Anggotanya tahu menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
d. Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu
e. Memberi evaluasi
f. Kesimpulan

7. JIGSAW (MODEL TIM AHLI)
Langkah-langkah :
a. Siswa dikelompokkan ke dalam kelompok 2 - 5 anggota tim
b. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda
c. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan
d. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/sub bab yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka
e. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh
f. Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi
g. Guru memberi evaluasi
h. Penutup

8. PROBLEM BASED INTRODUCTION (PBI)
Langkah-langkah :
a. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
b. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
c. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
d. Guru membantu siswa dalam merencanakan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya
e. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan

9. ARTIKULASI
Langkah-langkah :
a. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai
b. Guru menyajikan materi sebagaimana biasa
c. Untuk mengetahui daya serap siswa, bentuklah kelompok berpasangan dua orang
d. Suruhlan seorang dari pasangan itu menceritakan materi yang baru diterima dari guru dan pasangannya mendengar sambil membuat catatan-catatan kecil, kemudian berganti peran. Begitu juga kelompok lainnya
e. Suruh siswa secara bergiliran/diacak menyampaikan hasil wawancaranya dengan teman pasangannya. Sampai sebagian siswa sudah menyampaikan hasil wawancaranya
f. Guru mengulangi/menjelaskan kembali materi yang sekiranya belum dipahami siswa
g. Kesimpulan/penutup

10. MIND MAPPING
Sangat baik digunakan untuk pengetahuan awal siswa atau untuk menemukan alternatif jawaban.
Langkah-langkah :
a. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
b. Guru mengemukakan konsep/permasalahan yang akan ditanggapi oleh siswa/ sebaiknya permasalahan yang mempunyai alternatif jawaban
c. Membentuk kelompok yang anggotanya 2-3 orang
d. Tiap kelompok menginventarisasi/mencatat alternatif jawaban hasil diskusi
e. Tiap kelompok (atau diacak kelompok tertentu) membaca hasil diskusinya dan guru mencatat di papan dan mengelompokkan sesuai kebutuhan guru
f. Dari data-data di papan siswa diminta membuat kesimpulan atau guru memberi bandingan sesuai konsep yang disediakan guru

11. MAKE – A MATCH
Langkah-langkah :
a. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban
b. Setiap siswa mendapat satu buah kartu
c. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang
d. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban)
e. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin
f. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya
g. Demikian seterusnya
h. Kesimpulan/penutup

12. THINK PAIR AND SHARE
Langkah-langkah :
a. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai
b. Siswa diminta untuk berfikir tentang materi/permasalahan yang disampaikan guru
c. Siswa diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2 orang) dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing
d. Guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya
e. Berawal dari kegiatan tersebutmengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi yang belum diuangkapkan para siswa
f. Guru memberi kesimpulan
g. Penutup

13. DEBATE
Langkah-langkah :
a. Guru membagi 2 kelompok peserta debat yang satu pro dan yg lainnya kontra
b. Guru memberikan tugas untuk membaca materiyang akan didebatkan oleh kedua kelompok diatas
c. Setelah selesai membaca materi. Guru menunjuk salah satu anggotanya kelompok pro untuk berbicara saat itu ditanggapi atau dibalas oleh kelompok kontra demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa bisa mengemukakan pendapatnya.
d. Sementara siswa menyampaikan gagasannya guru menulis inti/ide-ide dari setiap pembicaraan di papan tulis. Sampai sejumlah ide yang diharapkan guru terpenuhi
e. Guru menambahkan konsep/ide yang belum terungkap
f. Dari data-data di papan tersebut, guru mengajak siswa membuat kesimpulan/ rangkuman

14. ROLE PLAYING
Langkah-langkah :
a. Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan
b. Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dua hari sebelum kbm
c. Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang
d. Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai
e. Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan
f. Masing-masing siswa duduk di kelompoknya, masing-masing sambil memperhatikan mengamati skenario yang sedang diperagakan
g. Setelah selesai dipentaskan, masing-masing siswa diberikan kertas sebagai lembar kerja untuk membahas
h. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya
i. Guru memberikan kesimpulan secara umum
j. Evaluasi
k. Penutup

15. GROUP INVESTIGATION
Langkah-langkah :
a. Guru menyiapkan sebuah tongkat
b. Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk membaca dan mempelajari materi pada pegangannya/paketnya
c. Setelah selesai membaca buku dan mempelajarinya mempersilahkan siswa untuk menutup bukunya
d. Guru mengambil tongkat dan memberikan kepada siswa, setelah itu guru memberikan pertanyaan dan siswa yang memegang tongkat tersebut harus menjawabnya, demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa mendapat bagian untuk menjawab setiap pertanyaan dari guru
e. Guru memberikan kesimpulan
f. Evaluasi
g. Penutup

16. TALK STIK
Langkah-langkah :
a. Guru menyiapkan sebuah tongkat
b. Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk membaca dan mempelajari materi pada pegangannya/paketnya
c. Setelah selesai membaca buku dan mempelajarinya mempersilahkan siswa untuk menutup bukunya
d. Guru mengambil tongkat dan memberikan kepada siswa, setelah itu guru memberikan pertanyaan dan siswa yang memegang tongkat tersebut harus menjawabnya, demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa mendapat bagian untuk menjawab setiap pertanyaan dari guru
e. Guru memberikan kesimpulan
f. Evaluasi
g. Penutup

17. BERTUKAR PASANGAN
Langkah-langkah :
a. Setiap siswa mendapat satu pasangan (guru biasa menunjukkan pasangannya atau siswa menunjukkan pasangannya
b. Guru memberikan tugas dan siswa mengerjakan tugas dengan pasangannya
c. Setelah selesai setiap pasangan bergabungdengan satu pasangan yang lain
d. Kedua pasangan tersebut bertukar pasangan masing-masing pasangan yang baru ini saling menanyakan dan mengukuhkan jawaban mereka
e. Temuan baru yang didapat dari pertukaran pasangan kemudian dibagikan kepada pasangan semula

18. SNOWBALL THROWING
Langkah-langkah :
a. Guru menyampaikan materi yang akan disajikan
b. Guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi
c. Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing, kemudian menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada temannya
d. Kemudian masing-masing siswa diberikan satu lembar kertas kerja, untuk menuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok
e. Kemudian kertas tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang lain selama ± 15 menit
f. Setelah siswa dapat satu bola/satu pertanyaan diberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut secara bergantian
g. Evaluasi
h. Penutup

19. STUDENT FACILITATOR AND EXPAINING
Langkah-langkah :
a. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
b. Guru mendemonstrasikan/menyajikan materi
c. Memberikan kesempatan siswa/peserta untuk menjelaskan kepada peserta untuk menjelaskan kepada peserta lainnya baik melalui bagan/peta konsep maupun yang lainnya
d. Guru menyimpulkan ide/pendapat dari siswa
e. Guru menerangkan semua materi yang disajikan saat itu
f. Penutup

20. COURSE REVIEW HORAY
Langkah-langkah :
a. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
b. Guru mendemonstrasikan/menyajikan materi
c. Memberikan kesempatan siswa tanya jawab
d. Untuk menguji pemahaman, siswa disuruh membuat kotak 9/16/25 sesuai dengan kebutuhan dan tiap kotak diisi angka sesuai dengan seler masing-masing siswa
e. Guru membaca soal secara acak dan siswa menulis jawaban di dalam kotak yang nomornya disebutkan guru dan langsung didiskusikan, kalau benar diisi tanda benar (Ö) dan salan diisi tanda silang (x)
f. Siswa yang sudah mendapat tanda Ö vertikal atau horisontal, atau diagonal harus berteriak horay … atau yel-yel lainnya
g. Nilai siswa dihitung dari jawaban benar jumlah horay yang diperoleh
h. Penutup

21. EXPLISIT INTRUCTION (PEMBELAJARAN LANGSUNG)
Pembelajaran langsung khusus dirancang untuk mengembangkan belajar siswa tentang pengetahuan proseduran dan pengetahuan deklaratif yang dapat diajarkan

Langkah-langkah :
a. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
b. Mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan
c. Membimbing pelatihan
d. Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
e. Memberikan kesempatan untuk latihan lanjutan

22. INSIDE OUTSIDE CIRCLE (LINGKARAN KECIL-LINGKARAN BESAR)
Langkah-langkah :
a. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang yang secara heterogen
b. Guru memberikan wacana/kliping sesuai dengan topik pembelajaran
c. Siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok dan memberi tanggapan terhadap wacana/kliping dan ditulis pada lembar kertas
d. Mempresentasikan/membacakan hasil kelompok
e. Guru membuat kesimpulan bersama
f. Penutup

23. COOPERATIVE INTEGRATED READING AND COMPOSITION (CIRC)
Langkah-langkah :
a. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang yang secara heterogen
b. Guru memberikan wacana/kliping sesuai dengan topik pembelajaran
c. Siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok dan memberi tanggapan terhadap wacana/kliping dan ditulis pada lembar kertas
d. Mempresentasikan/membacakan hasil kelompok
e. Guru membuat kesimpulan bersama
f. Penutup

About This Blog

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP